Laman

Minggu, 11 Desember 2016

Sebuah Cerita Sederhana dari Sudut Kota Malang.

Untuk beberapa waktu yang lalu, Malang pernah menjadi kota yang selalu gue harapkan bisa gue datangi sesering mungkin. Alasannya sederhana, karna waktu itu, masih ada seseorang yang ingin gue jumpai, tapi tidak lagi, setidaknya untuk sekarang ini. Sekeras apapun kemudian gue menolak, Tuhan selalu punya rencananya sendiri yang kemudian mengantarkan gue untuk setidaknya menetap di kota ini, untuk melanjutkan pendidikan, untuk memberikan pembelajaran.

Beberapa bulan di Malang, mengajarkan gue akan banyak hal. Selain memang dituntut untuk apa-apa bisa sendiri, serta bertransformasi dan beradaptasi sebagai mahasiswa yang menjalani perkuliahan yang (kadang-kadang) memusingkan, banyak pembelajaran yang bisa gue ambil entah dari pengalaman gue sendiri ataupun teman-teman di sekeliling gue.

Lingkungan perkuliahan emang lebih luas. Beberapa rangkaian ospek, entah itu ospek universitas, fakultas, maupun jurusan menuntut kita untuk lebih kenal sama banyak orang, even nantinya cuma ketemunya ya sekilas-sekilas aja, terlebih lagi kalo udah beda jurusan dan beda fakultas. 

Sedikit out of topic, sebagai satu dari sekian banyak orang yang pernah mengalami LDR (dan untungnya sekarang sudah tidak), gue  bisa banget ngebayangin rasanya berada di sisi pejuang-pejuang LDR itu. Terlebih, di antara beberapa temen-temen gue yang mengalami ldr, gue berpihak sebagai pihak pengamat. Oh bukan, masih kurang layak disebut sebagai pengamat, lebih sebagai -- pihak yang kebetulan berada cukup dekat dengan salah satu pasangan yang sedang menjalani ldr. Dibilang dekat juga engga, tapi gue tau apa yang si 'A' lakukan di kampus karna gue masih satu lingkungan dengan dia, berbeda dengan pacarnya, yang entah tidak gue ketahui lebih lanjut apakah dia mengetahui apa yang dilakukan pacarnya atau engga.

Long Distance Relationship. LDR. Ada jarak diantara hubungan yang sedang dijalani, ada waktu yang dikorbankan untuk sebuah pertemuan, ada rindu yang dipendam sebelum tercurah di sebuah pertemuan, ada pula kuota terbatas yang terpaksa harus dihabiskan untuk menghubunginya. Tsah. Untuk ldr, yang lo butuhin ga salah lagi adalah sebuah komitmen, dan pacar, tentunya. Gabisa tuh yang namanya lo seenaknya, banyak temen ya ga masalah, relasi itu ya sedikit banyaknya juga penting untuk kehidupan lo, tapi please, tau batasan. Come on man, jangan mentang-mentang, pacar lo jauh, lo berpikir dia ga akan tau apa yang lo perbuat, terus lo bisa (kasarnya) bego-begoin dia.

Seperti yang gue bilang di awal, pengalaman ini gue ambil dari kejadian teman gue sendiri. Soal seorang cowo yang mendekati seorang cewe lain, padahal dia sendiri udah punya pacar. Dan ya, mereka ldr-an. Dekat sebagai teman? Okay. Tapi teman yang hampir setiap hari ngajak makan bareng, keluar malem, apa namanya? Semuanya tanpa masalah, sampai akhirnya si cewe ini mempertanyakan bagaimana posisi dirinya sendiri. Diberi penjelasan pun tidak, kepastian apalagi, dan yang hadir hanya pertanyaan-pertanyaan membingungkan yang tidak berani disampaikan.

Untuk yang sedang menjalani ldr, selalu ingat bahwa ngga selamanya semuanya bisa diikutin pake kata hati, sekali-sekali logika dan otak juga perlu kamu bawa dalam hubungan itu. Coba untuk ngejalanin ldr itu boleh, tapi kalo ditengah jalan kamu ragu, lebih baik stop daripada kamu nyiksa diri sendiri dan bisa jadi nyiksa orang lain juga nantinya. Berharap itu boleh, tapi harus tetap realistis dengan segala kemungkinan yang ada.

Dan untuk yang ldrnya terputus di tengah jalan, memang tidak ada pihak yang bisa disalahkan, karena kuncinya adalah tahu diri dan saling menghargai.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar