Laman

Jumat, 16 Desember 2016

Apa hanya saya yang merasa?

Diantara bunyi rintik hujan yang menemani saya malam ini, Saya ingin menuliskan apa yang saya pikirkan, namun terlalu takut untuk saya katakan kepada orang lain, entah itu teman saya sendiri. Sekarang hari Jumat. Sepulang kuliah saya hari ini, saya seperti biasa, memesan Go-Jek untuk pulang. Tanpa Via, yang biasanya memberi tumpangannya pada saya. Beberapa menit menunggu, tidak ada yang mengambil orderan saya. Mungkin ini sudah malam, ucap saya dalam hati. Maklum, keberadaan Go-Jek di Malang tidak seliar di Jakarta. Pada detik itu saya belum menyadari bahwa diluar sana hujan turun dengan derasnya. Saya pun menunggu di lobby fisip dengan sabar, bersama Farah, kebetulan. Menit demi menit berlalu. Deras - sedang - reda. Saya kembali meng-order Gojek. Hasilnya nihil. Alternatif saya adalah saya pulang menggunakan Kejo. Tapi saya kurang beruntung kali ini, driver full, dan saya lagi-lagi harus menunggu.

Alternatif berikutnya adalah saya pulang dengan ayojek. Syukurlah ada driver yang mengambil order saya. Saya menunggu beberapa saat hingga Ia sampai. Rey, namanya. Percakapan pertama kali yang Ia buka adalah "maba ya?" dan dengan jawaban yang sudah pasti saya iya-kan. Percakapan demi percakapan berjalan diluar dugaan saya. Dia pun mengakui bahwa dia juga maba dan secara tidak sengaja kami sebenarnya berada pada suatu group lkm yang sama di line. Bukan. Saya tidak akan bercerita soal saya menyukai dia. Yang ingin saya ceritakan adalah, bagaimana saya merasa nyaman berbicara dengan orang-orang baru, walaupun mungkin alasan sebenarnya adalah tergantung. Tergantung dengan siapa saya berbicara. 

Saya bukan tipikal orang yang bisa membuka percakapan, walaupun saya sedang berusaha untuk itu. Saya tergolong orang yang pendiam, terlebih dengan orang yang belum terlalu saya kenal, tapi ini masih manusiawi. Tapi, ada yang berbeda saat saya berhadapan semisal dengan pengemudi Go-Jek ataupun ojek mahasiswa yang lainnya. Di keadaan ini, saya akan merasa lebih sebal ketika saya didiamkan di perjalanan, tidak diajak berkomunikasi. Kan bisa saya duluan yang membuka obrolannya? Sudah saya tuliskan diatas bahwa saya bukan orang yang bisa membuka percakapan, belum. Tapi, di sisi lain, saya bisa melanjutkan obrolan tersebut apabila ada pihak lain yang memulai.

Kembali ke Rey, dari perjalanan singkat itu, saya setidaknya tahu darimana asalnya, dimana Ia tinggal, alasannya memilih kuliah disini, sampai kami sama-sama pernah memperjuangkan kampus di Daerah Istimewa Yogyakarta sana, UGM, dan saya tahu bahwa Ia pernah berambisi untuk dapat berkuliah di Yogya sana. 

Dari kejadian tersebut saya berpikir, apa yang menyebabkan saya dapat lebih terbuka dengan orang-orang baru tak terduga yang saya jumpai? Berbeda halnya ketika saya mati-matian mencari obrolan kepada teman-teman yang saya jumpai setiap hari. Mungkin jawabannya saya dapat terbuka karna tidak ada ekspektasi apa-apa disana. Saya bisa bertanya, membahas hal apapun, toh nanti belum tentu ketemu lagi, jadi bisa lebih bebas. Mungkin. Sejauh ini, apa hanya saya yang merasa dengan hal-hal seperti ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar