Laman

Jumat, 23 Desember 2016

Hampir satu semester di Sosiologi Brawijaya.

Halo, hari ini tepat hari pertama saya memasuki minggu tenang sebelum liburan natal dan tahun baru, serta sebelum memasuki pekan uas. Uas saya akan dilaksanakan 3 Januari nanti. Doakan saya ya semoga saya dapat mengerjakan dengan baik. Saya sedikit banyaknya ingin bercerita bagaimana saya bisa masuk di jurusan sosiologi, yang bukan merupakan tujuan awal saya, di Malang pula, di kota diluar ekspektasi saya. Mari berjelajah ke beberapa bulan yang lalu, bagaimana saya bisa sampai disini.

Untuk adik-adik yang sedang menjalani kelas 12, percayalah saya pernah berada pada posisi kalian. Pernah bingung memilih jurusan, pernah bingung memilih universitas mana yang akan saya pilih untuk saya ikuti di beberapa jalur masuk ptn, seperti snmptn (undangan), sbmptn (tertulis), ataupun ujian tertulis mandiri. Percayalah saya pernah berada pada titik mengikuti bimbel sampai saya pun bosan sendiri, tapi saya pun tetap menjalaninya, karna ada tujuan yang harus saya capai.

Dari kelas 10 dahulu, tujuan saya cuma satu : masuk jurusan Psikologi, walaupun belum betul-betul mantap. Alasannya simple, saya ingin mengerti dan memperlakukan orang lain dengan baik. Walaupun sekarang saya sadar bahwa alasan itu universal dan bisa didapat tidak hanya lewat jurusan psikologi. Waktu tetap berjalan, tidak terasa saya tiba di penghujung waktu dimana sisa masa SMA saya akan berakhir. Kelas 12. Memasuki kelas 12, saya pun disibukkan dengan pusing membagi waktu antara belajar untuk UN dan SBMPTN dan saya pun mengambil kesimpulan untuk belajar mana yang lebih dahulu, yaitu UN, baru SBMPTN, dan saran saya baiknya mengikuti bimbel yang menjalani keduanya sekaligus, pada waktu saya bimbel di INTEN. 

Urutan jalur masuk ptn pada zaman saya adalah snmptn - sbmptn - jalur ujian mandiri. Sebelum pendaftaran snmptn pun, saya sudah konsultasi dengan guru bk dan bimbel. Setelah mempertimbangkan kuota, akreditasi kampus, akreditasi jurusan yang saya pilih, serta banyaknya teman yang berencana mengambil jurusan yang sama dengan saya, pada akhirnya saya tetap nekat mempertahankan kemauan awal saya. Egois memang. Tidak perlu ditiru. Namun juga harus tau konsekuensinya. Waktu itu saya tetap memilih Psikologi UI. Dari kesempatan untuk memilih 3 jurusan, saya waktu itu hanya memilih satu. Padahal saya tau bahwa kemungkinan saya untuk lolos sangat kecil. Tapi mindset saya waktu itu, kalo rezeki ngga akan kemana.

Setelah pendaftaran snmptn, saya diam-diam menaruh harapan akan lolos, tapi saya juga menyiapkan kemungkinan terburuk. Saya juga tetap menyiapkan sbmptn sebaik yang saya bisa. Beberapa bulan berlalu, tibalah di pengumuman snmptn. Singkat cerita, saya dinyatakan tidak lolos. Saya tidak lolos di jalur SNMPTN2016. Yang lebih menyakitkan lagi, satu orang teman di SMA saya, teman sejak saya SMP dulu, Ia lolos dengan jurusan yang sama dengan yang saya pilih. Dan ada beberapa teman saya yang lolos snmptn diluar ekspektasi bahkan guru saya sendiri. Intinya, jangan pernah menaruh sepenuhnya harapan kalian di snmptn, ngga ada yang bener-bener tau cara universitas meloloskan orang di snmptn itu gimana. Harus siap dengan pahit-pahitnya, kasarnya. Teman saya yang peringkat satu paralel pun tidak lolos di jalur snmptn waktu itu.

Saya pun mengambil kesempatan lain di jalur SBMPTN. Kalau ditanya sedih dan lelah, itu pasti. Kenyataan menyakitkan bahwa saya harus mengetahui teman-teman yang sudah lolos di snmptn dulu, sudah santai, sudah tidak perlu lagi belajar TKPA dan soshum (saya ips). Yang perlu diingat, disaat inilah saya tahu mana teman yang bisa mendukung saya, mana teman belajar bersama saya, mana teman yang bisa diajak mengejar cita-cita bersama. Saling menyemangati teman di saat-saat seperti ini menurut saya juga penting, karna yang dibutuhkan saat ini hanya dukungan dan kepercayaan dari orang lain, bahwa kita bisa. Kita bisa lolos di jalur ujian masuk yang berikutnya. Lagi-lagi saya konsultasi dengan guru di bimbel saya, pilihan saya tetap sama, psikologi. Tapi kali ini saya berusaha untuk menggunakan kesempatan yang ada, saya memilih 3 jurusan yang disediakan pada jalur sbmptn. Saya waktu itu memilih, Psikologi UGM, Psikologi UB, dan Sosiologi UB. Entah karna apa saya memilih sosiologi, saya tidak punya pilihan lain. Sosiologi adalah satu-satunya pelajaran soshum yang bisa saya terima dengan baik sewaktu sma dulu, jadi saya berakhir memilih sosiologi, toh fokus utamanya tetap soal masyarakat, pikir saya. Tidak hanya mengikuti SBMPTN, saya pun mengikuti ujian mandiri UGM (UTUL) dan Undip, dengan diam-diam tetap menaruh Psikologi pada pilihan jurusan test tersebut.

Hari pengumuman SBMPTN pun tiba, saya ingat betul pengumuman dibuka pada pukul 14.00 dan saya pun tidak menginginkan membukanya tepat waktu. Takut servernya penuh, pikir saya waktu itu. Posisi saya waktu itu juga sedang pergi ke Grand Indonesia, bulan puasa. Saya pun sedang berada di H&M pada saat tiba pukul 2. Sekitar pukul 14:15 saya dengan harapan yang semakin menipis, mulai membuka pengumuman tersebut, detik berlalu, beberapa menit saya nantikan dengan kemungkinan terburuk yang mungkin bisa terjadi (lagi). Dan hasilnya pun.......

Saya lolos SBMPTN2016 di pilihan terakhir saya,


Senang adalah pasti. Tapi satu hal yang perlu saya ingat, saya bukan lolos di jurusan awal yang saya mau. Saya bukan lolos di jurusan Psikologi. Beberapa hari kemudian, tibalah untuk pengumuman ujian mandiri utul dan undip. Mungkin memang beginilah takdir Tuhan untuk saya, lagi-lagi saya tidak diloloskan pada ujian tersebut, habis sudah kesempatan saya untuk bisa mengambil jurusan Psikologi, kecuali satu, cadangan saya yaitu Psikologi BINUS. Ada jarak beberapa waktu untuk melakukan daftar ulang sbmptn tersebut, Saya pun memikirkan manakah jurusan yang harus saya ambil, psikologi binus atau sosiologi ub. Karna satu dan lain hal, saya pun mengambil sosiologi ub saya. Ini bukan tujuan awal saya, tapi mungkin ini cara Tuhan untuk awal yang lebih baik untuk saya.

Di Malang lah saya sekarang, saat menulis post ini. Satu semester hampir saya jalani pada jurusan sosiologi ini. Saya benar-benar habis pikir mau jadi apa saya setelah lulus. Tapi sedari dulu, mindset saya memang bukan mengambil jurusan untuk pekerjaan saya nanti. Saya dulu memilih psikologi bukan untuk jadi psikolog nantinya. Sekarang saya di sosiologi, saya tidak ingin untuk menjadi seorang sosiolog. Jujur, saya benar-benar tidak tahu sosiologi itu mempelajari apa awalnya, mungkin saya masih butuh waktu untuk memahami hal ini, apalagi sosiologi bukanlah jurusan yang 'eksis' di masyarakat. Masih banyak juga masyarakat yang beranggapan bahwa sosiologi itu sama dengan psikologi.

Saya belum bisa membahas secara banyak pada semester awal saya pada jurusan ini. Intinya, sosiologi saat kuliah tidak semudah sosiologi di SMA, bahkan beberapa materi yang diajarkan di sma justru salah pemahaman dengan yang dipelajari saat kuliah. Satu hal yang perlu saya tangkap dari awal adalah bahwa sosiologi di perkuliahan tidak bersifat menghafal seperti saat sma dulu. Lagi-lagi, saya menyayangkan bagaimana secara tidak langsung cara belajar saya dulu dibiasakan untuk menghafal ketika sma, walaupun guru sosiologi sma saya adalah salah satu guru kesayangan saya juga.  

Pada semester awal ini, mata kuliah yang saya dapat diantaranya adalah TIK, pengantar sosiologi, dasar ilmu filsafat, ilmu politik, bahasa indonesia, sociological academic skill, agama, dan sistem hukum indonesia. Mungkin itu bisa menjadi sedikit gambaran bagi yang ingin mengetahui jurusan sosiologi itu seperti apa, terutama di UB sendiri. Sosiologi juga ada praktikumnya lho! Yaitu berupa pengamatan langsung di lapangan, sesekali saya dan beberapa teman pernah ditugaskan untuk mengamati langsung kegiatan masyarakat di sekitar Pombensin. Kemudian, kami diharuskan menulis isi dari laporan pengamatan tersebut, hal apa sajakah yang bisa kami tangkap, dan sebagainya. Untuk urusan 'menuliskan laporan' atau menulis apapun itu, saya sempat mendengar bahwa dosen-dosen sosiologi disini adalah dosen yang sangat perfeksionis. Gosipnya lagi setiap wisuda, jurusan sosiologi adalah salah satu yang lulusannya sedikit diantara jurusan di FISIP UB yang lainnya. Jadi, jangan meremehkan jurusan yang 'kurang eksis' di masyarakat satu ini.

Mungkin sedikit saja yang bisa saya ceritakan sejauh ini, maklum, saya pun masih berproses untuk belajar memperdalam dan mengerti sosiologi lebih jauh. Maaf juga jika saya terlalu banyak curhat dibanding membahas jurusan sosiologi seperti judul post diatas. Tapi, semoga cerita saya diatas bisa membantu sedikit penasaran kalian terhadap jurusan sosiologi itu sendiri. Doakan UAS saya, ya. Terimakasih kesempatan waktunya untuk membaca tulisan ini. Oh iya, untuk yang ingin bertanya lebih lanjut soal jurusan sosiologi ini, mungkin bisa hubungi saya lewat line jika mau, id line saya: adnidinda. Semoga bermanfaat :)

Jumat, 16 Desember 2016

Apa hanya saya yang merasa?

Diantara bunyi rintik hujan yang menemani saya malam ini, Saya ingin menuliskan apa yang saya pikirkan, namun terlalu takut untuk saya katakan kepada orang lain, entah itu teman saya sendiri. Sekarang hari Jumat. Sepulang kuliah saya hari ini, saya seperti biasa, memesan Go-Jek untuk pulang. Tanpa Via, yang biasanya memberi tumpangannya pada saya. Beberapa menit menunggu, tidak ada yang mengambil orderan saya. Mungkin ini sudah malam, ucap saya dalam hati. Maklum, keberadaan Go-Jek di Malang tidak seliar di Jakarta. Pada detik itu saya belum menyadari bahwa diluar sana hujan turun dengan derasnya. Saya pun menunggu di lobby fisip dengan sabar, bersama Farah, kebetulan. Menit demi menit berlalu. Deras - sedang - reda. Saya kembali meng-order Gojek. Hasilnya nihil. Alternatif saya adalah saya pulang menggunakan Kejo. Tapi saya kurang beruntung kali ini, driver full, dan saya lagi-lagi harus menunggu.

Alternatif berikutnya adalah saya pulang dengan ayojek. Syukurlah ada driver yang mengambil order saya. Saya menunggu beberapa saat hingga Ia sampai. Rey, namanya. Percakapan pertama kali yang Ia buka adalah "maba ya?" dan dengan jawaban yang sudah pasti saya iya-kan. Percakapan demi percakapan berjalan diluar dugaan saya. Dia pun mengakui bahwa dia juga maba dan secara tidak sengaja kami sebenarnya berada pada suatu group lkm yang sama di line. Bukan. Saya tidak akan bercerita soal saya menyukai dia. Yang ingin saya ceritakan adalah, bagaimana saya merasa nyaman berbicara dengan orang-orang baru, walaupun mungkin alasan sebenarnya adalah tergantung. Tergantung dengan siapa saya berbicara. 

Saya bukan tipikal orang yang bisa membuka percakapan, walaupun saya sedang berusaha untuk itu. Saya tergolong orang yang pendiam, terlebih dengan orang yang belum terlalu saya kenal, tapi ini masih manusiawi. Tapi, ada yang berbeda saat saya berhadapan semisal dengan pengemudi Go-Jek ataupun ojek mahasiswa yang lainnya. Di keadaan ini, saya akan merasa lebih sebal ketika saya didiamkan di perjalanan, tidak diajak berkomunikasi. Kan bisa saya duluan yang membuka obrolannya? Sudah saya tuliskan diatas bahwa saya bukan orang yang bisa membuka percakapan, belum. Tapi, di sisi lain, saya bisa melanjutkan obrolan tersebut apabila ada pihak lain yang memulai.

Kembali ke Rey, dari perjalanan singkat itu, saya setidaknya tahu darimana asalnya, dimana Ia tinggal, alasannya memilih kuliah disini, sampai kami sama-sama pernah memperjuangkan kampus di Daerah Istimewa Yogyakarta sana, UGM, dan saya tahu bahwa Ia pernah berambisi untuk dapat berkuliah di Yogya sana. 

Dari kejadian tersebut saya berpikir, apa yang menyebabkan saya dapat lebih terbuka dengan orang-orang baru tak terduga yang saya jumpai? Berbeda halnya ketika saya mati-matian mencari obrolan kepada teman-teman yang saya jumpai setiap hari. Mungkin jawabannya saya dapat terbuka karna tidak ada ekspektasi apa-apa disana. Saya bisa bertanya, membahas hal apapun, toh nanti belum tentu ketemu lagi, jadi bisa lebih bebas. Mungkin. Sejauh ini, apa hanya saya yang merasa dengan hal-hal seperti ini?

Minggu, 11 Desember 2016

Sebuah Cerita Sederhana dari Sudut Kota Malang.

Untuk beberapa waktu yang lalu, Malang pernah menjadi kota yang selalu gue harapkan bisa gue datangi sesering mungkin. Alasannya sederhana, karna waktu itu, masih ada seseorang yang ingin gue jumpai, tapi tidak lagi, setidaknya untuk sekarang ini. Sekeras apapun kemudian gue menolak, Tuhan selalu punya rencananya sendiri yang kemudian mengantarkan gue untuk setidaknya menetap di kota ini, untuk melanjutkan pendidikan, untuk memberikan pembelajaran.

Beberapa bulan di Malang, mengajarkan gue akan banyak hal. Selain memang dituntut untuk apa-apa bisa sendiri, serta bertransformasi dan beradaptasi sebagai mahasiswa yang menjalani perkuliahan yang (kadang-kadang) memusingkan, banyak pembelajaran yang bisa gue ambil entah dari pengalaman gue sendiri ataupun teman-teman di sekeliling gue.

Lingkungan perkuliahan emang lebih luas. Beberapa rangkaian ospek, entah itu ospek universitas, fakultas, maupun jurusan menuntut kita untuk lebih kenal sama banyak orang, even nantinya cuma ketemunya ya sekilas-sekilas aja, terlebih lagi kalo udah beda jurusan dan beda fakultas. 

Sedikit out of topic, sebagai satu dari sekian banyak orang yang pernah mengalami LDR (dan untungnya sekarang sudah tidak), gue  bisa banget ngebayangin rasanya berada di sisi pejuang-pejuang LDR itu. Terlebih, di antara beberapa temen-temen gue yang mengalami ldr, gue berpihak sebagai pihak pengamat. Oh bukan, masih kurang layak disebut sebagai pengamat, lebih sebagai -- pihak yang kebetulan berada cukup dekat dengan salah satu pasangan yang sedang menjalani ldr. Dibilang dekat juga engga, tapi gue tau apa yang si 'A' lakukan di kampus karna gue masih satu lingkungan dengan dia, berbeda dengan pacarnya, yang entah tidak gue ketahui lebih lanjut apakah dia mengetahui apa yang dilakukan pacarnya atau engga.

Long Distance Relationship. LDR. Ada jarak diantara hubungan yang sedang dijalani, ada waktu yang dikorbankan untuk sebuah pertemuan, ada rindu yang dipendam sebelum tercurah di sebuah pertemuan, ada pula kuota terbatas yang terpaksa harus dihabiskan untuk menghubunginya. Tsah. Untuk ldr, yang lo butuhin ga salah lagi adalah sebuah komitmen, dan pacar, tentunya. Gabisa tuh yang namanya lo seenaknya, banyak temen ya ga masalah, relasi itu ya sedikit banyaknya juga penting untuk kehidupan lo, tapi please, tau batasan. Come on man, jangan mentang-mentang, pacar lo jauh, lo berpikir dia ga akan tau apa yang lo perbuat, terus lo bisa (kasarnya) bego-begoin dia.

Seperti yang gue bilang di awal, pengalaman ini gue ambil dari kejadian teman gue sendiri. Soal seorang cowo yang mendekati seorang cewe lain, padahal dia sendiri udah punya pacar. Dan ya, mereka ldr-an. Dekat sebagai teman? Okay. Tapi teman yang hampir setiap hari ngajak makan bareng, keluar malem, apa namanya? Semuanya tanpa masalah, sampai akhirnya si cewe ini mempertanyakan bagaimana posisi dirinya sendiri. Diberi penjelasan pun tidak, kepastian apalagi, dan yang hadir hanya pertanyaan-pertanyaan membingungkan yang tidak berani disampaikan.

Untuk yang sedang menjalani ldr, selalu ingat bahwa ngga selamanya semuanya bisa diikutin pake kata hati, sekali-sekali logika dan otak juga perlu kamu bawa dalam hubungan itu. Coba untuk ngejalanin ldr itu boleh, tapi kalo ditengah jalan kamu ragu, lebih baik stop daripada kamu nyiksa diri sendiri dan bisa jadi nyiksa orang lain juga nantinya. Berharap itu boleh, tapi harus tetap realistis dengan segala kemungkinan yang ada.

Dan untuk yang ldrnya terputus di tengah jalan, memang tidak ada pihak yang bisa disalahkan, karena kuncinya adalah tahu diri dan saling menghargai.