Laman

Minggu, 24 Juli 2016

Dia, yang ditemui di perjalanan ini.

Di Stasiun Tawang, Semarang, 16 Juli yang lalu, semua pelajaran dan kenangan berawal dari sini. Gue, malam itu masih harus menunggu disitu kurang lebih dua jam lagi untuk bisa transit di Surabaya lalu berakhir ke Malang. Bosen? Pasti. Gabut? Banget. Ngga ada yang spesial, awalnya. Gue yang diam-diam masih selalu berharap bertemu orang yang ngga diduga di suatu tempat nyatanya memang masih belum dipertemukan oleh siapapun. 

Sampai akhirnya, ada dia. Ada seseorang yang berhasil mengacaukan fokus gue untuk menunggu jam kedatangan kereta yang akan gue tumpangi. Gue masih inget lagu apa yang sedang gue dengarkan saat pertama kali mata gue melihat kedatangan dia, dia dengan kaos hitamnya, dia yang menggendong carrier merahnya, dia yang datang berdua dengan temannya, dia yang kemudian duduk di sebelah anak kecil bersama ibunya, dia yang kemudian gue perhatikan diam-diam tersenyum sambil menelpon seseorang di sebrang sana, mungkin pacarnya, mungkin ibunya, atau masih banyak kemungkinan yang entah apa tapi berhasil menciptakan senyuman tipis di bibirnya. Dia, yang waktu itu menunggu sendirian ditinggal temannya sementara yang entah mau kemana. Dia, yang waktu itu duduk di sebrang kiri gue, di ruang tunggu stasiun itu.

Masa bodo dengan seseorang yang mungkin memperhatikan gue yang sedang memperhatikan dia diam-diam darisana. Lalu persetan. Persetan dengan waktu yang sudah mengharuskan gue memasuki peron untuk segera berangkat ke Surabaya. Gue berdiri dari tempat duduk gue, kemudian berjalan, berjalan melewati dia. Lewat sudut mata, gue masih bisa melihat bahwa dia masih belum bergerak sedikitpun, masih tetap duduk, di tempat duduk awalnya. Gue pun masih tetap berjalan, berjalan tanpa menoleh dramatis ke arahnya seperti apa yang sering terjadi di film-film kebanyakan. 

Gue pun sudah duduk tenang di kereta bangunkarta yang akan membawa gue ke Surabaya, sambil diam-diam berpikir keras siapa sosok laki-laki yang daritadi gue perhatikan di stasiun itu. Dia ngga lebih dari seseorang yang mungkin sekedar gue liat di mall, pikir gue. Tapi kenapa sosoknya menjadi semenarik ini? #anjay. Gue pun kemudian membuang jauh-jauh segala rasa penasaran itu, lalu berpikiran selayaknya memang ngga ada yang spesial dari sekedar melihat seseorang yang sedang sama-sama menunggu kereta di sebuah stasiun.

Perjalanan pun masih panjang, dari Rahma, mba, dan Noval, dari kami berempat, cuma gue yang sukses belum tidur padahal screen hp sudah menunjukkan pukul satu pagi, walaupun gue sebenernya udah super ngantuk, tapi tetep, segala percobaan yang gue lakukan untuk segera terlelap nyatanya belum berhasil, dan akhirnya, tidur paling nyenyak dalam perjalanan itu gue alami setengah jam sebelum sampai di Surabaya.

Sebelum turun di Stasiun Gubeng, gue pun baru menyadari bahwa beberapa orang di gerbong ini sudah lebih dulu turun di stasiun-stasiun sebelum stasiun terakhir ini. Sudah banyak kursi yang kosong. Seperti biasa, gue mulai melihat penumpang lain di sekitar gue, mulai dari depan, samping, dan akhirnya sampai pada pandangan ke arah kursi belakang sana, di dekat pintu penghubung ke gerbong yang lainnya. Iya. Ada dia. Dia si pembawa carrier merah yang beberapa jam lalu berhasil menarik rasa penasaran gue. Dia, yang pada saat itu sedang jelas-jelas melihat gue yang sedang melihat kursi-kursi lain yang masih berpenumpang. Bingung? Iya. Gue yang logikanya berjalan melewati dia ketika pertama kali masuk ke gerbong ini dan mencari dimana tempat gue seharusnya duduk nyatanya ngga melihat keberadaan dia yang sudah lebih dulu  duduk di kursinya. Oh jadi daritadi yang dikira udah beda tujuan ternyata masih disini-sini juga.

Gue pun turun, lalu segera bergegas untuk mencetak boarding pass untuk perjalanan berikutnya. Dan disanalah dia. Lagi. Masih bersama seorang temannya yang waktu itu memakai topi cokelat dan berkacamata. Gue pun dengan sabar menunggu sampai dua jam berikutnya sebelum kereta membawa gue ke tujuan akhir, Malang. Gue sangat yakin ruang tunggu di stasiun itu ngga begitu besar, tapi entah kenapa kali ini, gue ngga bisa menemukan sosok si pembawa carrier merah itu. Mungkin dia duduk di ruang tunggu yang lain, mungkin dia sedang membeli cemilan, mungkin sedang ke toilet, mungkin sudah sampai di tujuan terakhirnya disini, mungkin sudah di perjalanan selanjutnya, atau masih terlalu banyak kemungkinan yang lainnya.

Kali ini mungkin emang udah bener-bener beda tujuan, gue dan si pembawa carrier merah. Gue pun kembali memasuki gerbong kereta, masih tetap memperhatikan orang lain dan ya, kali ini memang udah ngga ada dia, atau lebih tepatnya, sudah tidak lagi satu gerbong seperti semalam. Kereta pun berangkat menuju Malang, ke kota yang sejak setahun lalu menjadi kota yang mati-matian gue harapkan setiap harinya bisa gue datangi demi untuk bertemu dengan dia, dengan seseorang yang saat ini mungkin sudah lebih menantikan kehadiran orang lain yang ingin mengunjunginya disana.

Pukul delapan lewat, kereta pun sampai di Stasiun Malang, gue yang sudah tidak lagi berharap bertemu dia lagi, buat apa ketemu lagi? Berani ngajak kenalan juga engga. Gue masih terus berjalan menuju arah keluar, masih dengan mendorong-dorong koper abu-abu gue, masih tetap berjalan menaiki tangga sambil melihat dan sesekali menertawakan mba yang terlihat keberatan menarik kopernya sendiri. Gue masih ingat ada dua jalur di tangga yang mengarah keluar itu. Gue berjalan di jalur sebelah kiri, dan sesampainya di pijakan anak tangga yang terakhir, gue sepersekian detik melihat ke jalur tangga di sebelah kanan. And yes, he was there. Gue mengutuk ketidaktelitian gue pagi itu. Gimana bisa orang yang dari kemarin gue cari-cari dan tiba-tiba muncul di samping gue tapi gue sendiri ngga sadar? Sempet mikir sih mau tiba-tiba ngajak dia kenalan, tapi untuk mencegah resiko yang tidak diinginkan yaitu dikacangin, jadi gue mengubur dalam-dalam keinginan ngaco itu.

Kalo jodoh, pasti nanti ketemu lagi.

Gue lupa kata-kata itu ada di film apa. Tapi sedikit banyaknya gue percaya sama kata-kata itu. Bukan. Bukan jodoh yang artinya lo bisa ketemu-pacaran-nikah-langgeng sampe tua-sampe dipisahkan oleh kematian. Bukan. Bukan itu yang gue maksud. Yang gue tangkap disini adalah cara semesta yang tiba-tiba mempertemukan atau menghadirkan seseorang yang ngga pernah kita bayangin sebelumnya, entah, bisa jadi dengan berbagai cara, bisa jadi dimana aja.

Sama halnya seperti barang lo yang tiba-tiba hilang, udah lo cari dimanapun ngga ada, tapi beberapa hari kemudian tiba-tiba ada seseorang yang bilang sama lo, "eh ini punyamu yang kemarin dicari-cari kan?" kalo kasusnya kayak gini, berarti masih rezeki, katanya. Perumpamaannya beda ya? Jodoh dan rezeki, ya beda dikit gapapa lah ya? Pasti yang baca ini juga ngerti kan? Iya. Semoga.

Gue ngga mau bilang si pembawa carrier merah itu 'jodoh' gue di perjalanan ini. Emang lu siapa din bisa bilang gitu. But hi, semesta rasanya selalu punya cara tersendiri untuk membuat hal-hal tak terduga diluar yang bisa kita bayangin, ya?

Silahkan bilang gue baper sama stranger, bilang gue lebay, anything you named it. Tapi satu hal, mungkin kedengerannya cheesy, tapi somehow, gue sangat senang bahwa ada kejadian ini. Ada kenangan yang bisa gue ingat dari perjalanan ini, ada suatu hal yang membekas di ingatan gue ketika mungkin nanti gue kembali menginjakkan kaki di suatu stasiun, atau bisa jadi, ada dia lagi yang akan gue temui di ruang tunggu keberangkatan suatu hari nanti.

:)